Anak-anak pintar

Pak Ustadz terperangah. Wajahnya kaget, seperti tak percaya. Di depan mukanya ia melihat langsung anak pertamanya marah-marah. Fakih memarahi kedua temannya yang tidak mengikuti, bahkan menolak pendapatnya.

“Salah! Itu salah! Pendapat aku yang benar. Kamu keliru!”

Mirip berteriak. Wajah Fakih mengeras. Matanya seolah hendak meloncat keluar. Ia tidak menerima jika yang dikatakannya keliru. Ia justru menyalahkan pendapat kedua temannya yang berbeda dengan dirinya.

Jaka dan Ade yang duduk mengapit Fakih seperti tak enak hati. Keduanya bahkan seperti ketakutan. Mereka hanya menundukkan wajahnya. Mereka tak berani mempertahankan pendapatnya setelah melihat raut muka Fakih.

“Kalau tidak percaya kamu bisa buka kembali catatan yang dulu. Di situ pasti tertulis jelas bahwa simbiosis komensalisme adalah hubungan sesama makhluk hidup yang satu diuntungkan yang lain dirugikan.”

“Bukan Fakih…..” tampik Jaka dengan ucapan yang lirih. Hampir tak terdengar.

“Itu simbiosis parasitisme…”

“Komensalisme! Kamu berdua keliru. Salah!”

Pak Ustadz tahu mana pendapat yang benar dan pendapat mana yang salah. Namun, ia sengaja membiarkan ketiganya berdebat. Ia ingin tahu bagaimana ketiga anak itu menyelesaikan perbedaan pendapat saat belajar bersama di rumah.

Pak Ustadz hanya memainkan matanya. Melirik, pura-pura tidak melihat. Ia seperti asyik membaca buku yang ada di pangkuannya. Padahal seluruh indera yang dimilikinya diluncurkan pada peristiwa yang unik itu.

“Ayo, sekarang kita lihat catatan kemarin!” ajak Fakih dengan tak mengendurkan nada.

Pak Ustadz tahu, kenapa kedua teman Fakih tidak yakin dengan pendapatnya sendiri. Bahkan mereka berdua terlihat takut. Pertama, mereka tidak yakin dengan pendapatnya karena Fakih memang anak yang paling pintar di kelasnya. Kedua, Fakih memiliki pribadi yang kuat dan sulit untuk mengalah. Ketiga, mereka belajar di rumah Fakih sehingga mereka terkesan tidak ingin ribut dengan Fakih.

Sesaat kemudian.

“Kalian benar. Aku yang keliru.”

Plong! Pak Ustadz tersenyum melihat Fakih mengakui kesalahannya. Secara sportif, Fakih bahkan menyalami kedua temannya. Ketiganya tersenyum. Mereka melanjutkan belajar bersama.

Pak Ustadz terpekur. Matanya memandang ketiga anak-anak itu dengan wajah lembut. Tiba-tiba benak Pak Ustadz teringat kata-kata bijak tentang anak pintar dan anak bodoh.

Anak pintar ialah anak yang mampu mengekang jiwanya dan memikirkan bahwa segala tindakannya selalu berkaitan dengan Tuhan yang Maha Melihat. Sedangkan, anak bodoh adalah anak yang mengikuti hawa nafsunya dan selalu berangan-angan bahwa Tuhan akan selalu bersama dirinya di manapun dan kapanpun.

Ah, semoga kalian menjadi anak-anak yang pintar, bisik Pak Ustadz. ***

Sigit Widiantoro
http://kompasiana.com/sigitwidiantoro
http://fiksi.kompasiana.com/group/prosa/2010/09/02/anak-anak-pintar/

Ditulis Oleh : Mochamad Saeffulloh // Sabtu, Agustus 28, 2010
Kategori: