Helm, Bukan Sekadar Pelindung Kepala

ROAD Safety Association (RSA) tergelitik menjembatani kesimpangsiuran mengenai Standar Nasional Indonesia (SNI) wajib helm di kalangan para pengendara sepeda motor. Kesimpangsiuran cukup meluas di dunia maya seperti dalam jaringan komunikasi mailing list maupun jejaring sosial seperti face book.

Setelah melalui publikasi di dunia maya, akhirnya digelar diskusi dengan topik Sosialisasi Helm SNI, di Jakarta, Sabtu, 10 April 2010. Selain Rio Octaviano, ketua RSA, diskusi yang dimoderatori Edo Rusyanto itu juga menampilkan pembicara lain yakni Sumarsinah dan Esti Widiastuti, keduanya dari Kementerian Kesehatan, lalu pakar helm Lim Thomas dan Kasilat Subdit Dikmas Ditlantas Polri AKBP Subono.

Ketentuan mengenai helm SNI memiliki dua obyek. Pertama, untuk produsen helm. Kedua, untuk para pengendara sepeda motor.

Sebelum 1 April 2010, ketentuan mengenai SNI helm bersifat sukarela. Artinya, para produsen helm bisa memenuhi ketentuan SNI, namun bisa juga tidak. Saat itu, ciri helm yang sudah memenuhi standar tersebut adalah dengan menempelkan stiker di bagian luar helm. Kini, sejak 1 April 2010, sesuai dengan Permenperin No 40/2009, seluruh produsen maupun importir yang memperdagangkan helm di Indonesia, wajib memenuhi standar SNI 1811:2007 yang ciri utamanya adalah berupa huruf timbul (embosh) bertuliskan SNI di bagian luar helm.

Di sisi lain, kewajiban para pengendara sepeda motor untuk memakai helm tertuang dalam Undang Undang No 22/2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ). UU yang diteken oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 23 Juni 2009 itu bahkan memberi sanksi pidana kurungan maksimal satu bulan atau denda maksimal Rp 250 ribu, bagi pelanggar ketentuan mengenai kewajiban memakai helm ber-standar nasional Indonesia.
Ketentuan UU No 22/2009 itu sesungguhnya lebih ringan dibandingkan UU No 14/1992 yang mengancam dengan sanksi denda maksimal Rp 1 juta. Pada praktiknya, selama 17 tahun UU tersebut diterapkan, nyaris tak terdengar penerapan sanksi tersebut. Bisa dibayangkan, jika sanksi itu diterapkan, sudah berapa miliar rupiah kas negara diisi oleh denda tidak memakai helm.


Kualitas Helm
Kualitas helm sesuai dengan SNI 1811:2007 dinilai cukup mumpuni untuk perlindungan kepala para pengendara sepeda motor. Pengujian untuk standar itu mencakup;
Pengujian yang berkaitan dengan bagian batok helm yakni berupa;
Uji penyerapan energi kejut (impact test).
Uji penetrasi.
Uji ketahanan impak miring.
Uji pelindung dagu (khusus untuk helm model full face).
Uji sifat mudah terbakar (sudah direvisi).
Selain itu, pengujian yang berkaitan dengan chin strap / tali pengikat yang mencakup:
Uji kekuatan sistem penahan.
Uji kelicinan sabuk / tali helm.
Uji keausan sabuk / tali helm.
Uji efektifitas sistem penahan.

Maklum, SNI 1811:2007 mengacu kepada standar internasional yakni;
Ø BS 6658 : 1985 : Protective Helmet for Motor Cyclists, Specification.
Ø EN 960 : 1994 : Headforms for use in the testing of protective helmets.
Ø ISO 6487 : 2000 : Road vehicles – Measurements techniques in impact tests – Instrumentation.
Ø JIS T 8133 : 2000 : Protective Helmet for drivers and passangers of motor cycle and mopeds.
Ø Rev. 1/add. 21/Rev. 4 24 September 2002 dari E/ECE/324 dan E/ECE/TRANS/505 Regulation No. 22 : Uniform provision concerning the approval of protective helmets dan visors for drivers and passangers of motor cycles and mopeds.

Artinya, SNI selaras dengan standar Eropa yakni Economic Community of Europe (ECE) dan Jepang (JIS).

Di sisi lain, para produsen harus memenuhi tiga persyaratan utama sebelum memperoleh Sertifikat Produk Penggunaan Tanda SNI (SPPT SNI) dari Lembaga Sertifikasi Produk Pusat Standardisasi (LSPro-Pustan) Kementerian Perindustrian yakni pertama, persyaratan administrasi dan legalitas. Kedua, produsen helm harus mempunyai dan menerapkan sistem manajemen mutu (ISO 9001 : 2000) dan telah diaudit oleh LSPro. Ketiga, helm yang diproduksi telah lulus uji di laboratorium pengujian helm yang telah berakreditasi KAN atau ditunjuk oleh pemerintah.

Bagi suatu negara, standardisasi merupakan salah satu jurus untuk memproteksi industri domestik mereka dalam perang dagang internasional yang kian hari kian bebas. Instrumen perlindungan berupa tarif sudah tidak populer bahkan dilarang oleh Badang Perdagangan Dunia (WTO).

Indonesia yang memiliki ratusan produsen helm dengan produksi belasan juta, yakni pada 2009 sekitar 14 juta unit dan 2010 sekitar 22 juta unit, tentu saja merupakan salah satu wilayah pemasaran helm yang legit. Maklum, produksi sepeda motor di Tanah Air terus membubung dalam 10 tahun terakhir. Pada 2008, penjualan sepeda motor mencapai sekitar enam juta unit lebih, tahun lalu sekitar lima juta unit lebih, dan tahun ini diperkirakan bisa mendekati pencapaian 2008. bisa dibayangkan, berapa kebutuhan helm, khususnya untuk original equipment market (OEM).

Implementasi Aturan
Mengacu kepada regulasi Permenperin No 40/2009, seluruh helm yang diproduksi dan diperdagangkan di Indonesia harus memenuhi ketentuan SNI wajib 1811:2007. Sedangkan mengacu kepada UU No 22/2009 tentang LLAJ, seluruh pengendara sepeda motor, wajib memakai helm berstandar nasional Indonesia. Lantas, bagaimana implementasinya?

Untuk jangka pendek selama diberlakukannya kedua aturan tersebut, kepolisian Republik Indonesia mengintensifkan sosialisasi mengenai pemberlakuan helm ber-SNI 1811:2007. Sosialisasi yang dilakukan sejak UU No 22/2009 diteken bakal diakhiri pada Mei 2010.

Pada bagian lain, kepolisian RI bakal fokus menggencarkan penindakan terhadap pengendara yang tidak memakai helm atau pengendara motor yang hanya memakai helm ala kadarnya, seperti helm cetok atau helm proyek yang memang peruntukkannya bukan untuk bersepeda motor.

Helm yang sudah standar, baik sesuai SNI mandatory maupun SNI wajib, bahkan helm yang berstandar internasional lainnya seperti DOT, SNELL, ECE, dan SRIM, belum dilakukan penindakan. Penindakan untuk helm seperti itu tergantung dengan peraturan pemerintah (PP) maupun peraturan Kapolri (Perkap) yang saat ini masih digodok oleh pemerintah di lintas instansi. Kedua aturan pelaksana dari UU No 22/2009 itu ditargetkan rampung sebelum Juni 2010.

Tak heran, jika kemudian RSA selaku fasilitator diskusi Sosialisasi Helm SNI lantas menggagas Petisi Helm SNI yang substansinya mencakup;

Mendukung implementasi UU No. 22/2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan beserta Peraturan Menteri Perindustrian No 40 tahun 2008 tentang Standar Nasional Indonesia (SNI) Wajib untuk helm kode 1811:2007.
Mendesak pemerintah mensosialisasikan secara massif mengenai ketentuan helm SNI.
Mendesak Kepolisian RI menindak/menilang pengendara sepeda motor yang tidak memakai helm atau pengendara yang tidak memakai helm standar. Juga transparansi tentang petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis dalam upaya penegakan hukum di jalan, sehingga tidak ada lagi mis-inteprasi rakyat terhadap pihak penegak hukum.
Mendesak Dinas Perdagangan di tiap provinsi mengawasi secara intensif peredaran helm di pasar domestik.
Mendesak pemerintah untuk menindak tegas produsen/pedagang helm yang memperjualbelikan helm tidak sesuai dengan ketentuan SNI.

Sudah sepatutnya, sebagai bangsa yang peduli terhadap keselamatan berlalu lintas jalan, implementasi aturan mengenai helm ditegakkan secara konsisten dan tegas oleh aparat kepolisian. Sedangkan para produsen harus memiliki mentalitas baik dengan memenuhi spesifikasi yang ditentukan dalam SNI 1811:2007, sementara itu bagi para pengawas peredaran barang di lapangan seperti Dinas Perindustrian dan Perdagangan di tingkat provinsi maupun aparat Bea Cukai, mengawasi secara ketat. Lindungi konsumen dengan kesungguhan hati, tanpa mencari peluang untuk kepentingan pribadi.

Jakarta, 20 April 2010

Litbang RSA
www.rsa.or.id
008/RSA/SK/Ext/4/10