Saat ini, publik seolah sedang “dipaksa” oleh media massa khususnya televisi untuk mencitrakan almarhum mantan presiden Soeharto sebagai sosok yang mempunyai keberpihakan tinggi kepada kaum petani. Dalam beberapa hal, media nampaknya telah berhasil membangun citra ini. Terlebih sekarang di tengah suasana rakyat yang berduka akibat didera persoalan naiknya harga kebutuhan bahan pangan. Tentu saja ajakan media massa ini seolah mendapat angin. Walhasil, media massa secara sistematis telah menambah penyakit amnesia pengetahuan politik pertanian kita.
Sebenarnya begitu mudah mengidentifikasi deretan kebijakan Soeharto yang sangat anti petani. Kita lihat dalam serangkaian kebijakan seperti monopoli pembelian dan penetapan harga gabah, cengkeh, tembakau, jeruk. Kesemua kebijakan ini dijalankan oleh keluarga dan kroninya untuk menumpuk kekayaan. Sampai sekarang, buah dari kebijakan ini masih menyisakan penderitaan yang panjang bagi para petani pangan dan kebun.
Soeharto juga tidak menginginkan jika tanah-tanah negara diperuntukkan bagi rakyat kecil alias pemerintah yang anti landreform. Meski secara statistik petani kita sebagian besar adalah petani gurem dan buruh tani sehingga wajib diberi lahan pertanian sesuai amanat Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No.5/1960. Selama 32 tahun Orde Baru berkuasa, hanya 358.210 hektar tanah diberikan kepada rakyat, sebagian besar diberikan melalui program transmigrasi yang residu persoalannya masih melekat sampai sekarang.
Padahal, sepanjang masa Soeharto tanah seluas 5.6 juta hektar diperuntukkan bagi perusahaan perkebunan. Di wilayah hutan keadaannya juga lebih menyedihkan, sepanjang kekuasaannya hutan seluas 64,3 juta hektar diberikan kepada 555 perusahaan yang dimiliki oleh puluhan pengusaha untuk dieksploitasi. Jika kita identifikasi, para pengusaha ini adalah keluarga, kroni dan institusi bisnis kelompok militer. Di sisi lain, hampir 10.5 juta rakyat harus terusir dari hutan-hutan tempat hidup mereka karena dianggap sebagai perambah hutan dan kelompok suku terasing yang merusak hutan. Dampak kebijakan ini selain rusaknya puluhan juta hektar hutan juga telah menyebabkan bencana ekologis yang dahsyat yang telah menghancurkan dan terus menerus mengancam sendi-sendi kehidupan dan keselamatan rakyat dan ekosistem hutan.
Dibalik swasembada beras
Meski demikian, banyak yang menolak pendapat diatas. Bukankah Soeharto telah mendapat penghargaan dari Food and Agriculture Organisation (FAO) pada tahun 1984, lembaga resmi PBB yang menangani masalah produksi pertanian. Tidakkah hal ini telah cukup membuktikan bahwa Soeharto adalah sosok yang benar-benar berhasil dalam membangun dunia pertanian. Bahkan, dengan penghargaan ini, bisa disebut Soeharto telah membuat sebuah prestasi tinggi sebab dua dekade sebelumnya Indonesia adalah negeri pengimpor beras terbesar di dunia.
Swasembada beras yang sering disalahbahasa demi tujuan politik menjadi swasembada pangan adalah buah kebijakan Soeharto dalam mengadopsi dan menjalankan program revolusi hijau. FAO sendiri menganjurkan program ini bukan tanpa tujuan politis. Sebab, hanya revolusi hijau yang dapat bersinergi dengan gagasan developmentalisme Bank Dunia pada masa itu.
Swasembada beras tersebut, dapat tercapai berkat pelaksanaan program revolusi hijau yang telah membuat petani kita mengalami ketergantungan yang sangat tinggi kepada produk industri pertanian seperti benih, pestisida, pupuk kimia. Revolusi hijau juga telah membawa kerugian yang belum pernah terbayangkan sebelumnya. Akibat penggunaan penggunaan produk kimia secara berlebihan juga telah merusak sumber mata air, hara tanah, dan menghasilkan produk pertanian yang tidak aman dikonsumsi oleh masyarakat secara terus menerus dan berjangka panjang. Padahal, biaya memulihkan kerusakan tersebut sangat mahal, misalnya pada tanah yang terkontaminasi pupuk kimia dan pestisida sedikitnya perlu diisitirahatkan selama sepuluh tahun.
Dalam pelaksanaannya, revolusi hijau juga telah mengakibatkan guncangan yang hebat terhadap dasar-dasar sosial politik desa. Sebab, pelaksanaannya telah didahului dengan penyeragaman struktur pemerintahan desa melalui UU No.7/1979 sehingga memudahkan keterlibatan struktur militer dan birokrasi dalam memaksa masyarakat menjalankan program ini. Sampai sekarang, akibat penyeragaman ini telah mengakibatkan hilangnya pranata sosial masyarakat pedesaan yang beraneka ragam dan merupakan kekayaan “Bhineka Tunggal Ika” kita yang tak ternilai harganya.
Jika demikian, Soeharto sesungguhnya bukan sang jenderal yang tersenyum manis kepada petani. Soeharto sedang tersenyum untuk dirinya sendiri karena berhasil menipu dan membuat sengsara jutaan petani dan rakyat hingga masa sekarang tanpa banyak diketahui.