Soeharto Dan Swasembada Pangan

Sosok Soeharto dalam sejarah Indonesia banyak mendulang prestasi terutama dalam pembangunan ekonomi. Setelah Soeharto naik ke tampuk kekuasaan, dia berhasil mengangkat perekonomian negara dari kemunduran yang panjang, bahkan pernah divonis ekonom Benjamin Higgins, sebagai kronis dan tak berprospek. Hasil pembangunan era Soeharto “boleh dikatakan” dapat dinikmati hampir semua rakyat.
Sejarah mencatat ketika Indonesia yang masih berusia 20 tahun dan relatif muda, diguncang konflik politik dengan puncaknya pemberontakan G 30 S/PKI, salah satu penyebabnya adalah faktor kemiskinan dan kelangkaan pangan.
Maka, Presiden RI pada waktu itu, Soeharto, mengawali masa-masa pemerintahannya dengan bertumpu pada sektor agraria dan mengeluarkan berbagai kebijakan yang mengarah pada revolusi pangan.
Berbagai aturan diberlakukan melalui program intensifikasi massal, bimbingan massal untuk meningkatkan produksi pertanian.
Bibit unggul padi diberikan, teknologi tanam juga diterapkan sehingga jika secara tradisional sawah-sawah biasanya hanya menghasilkan satu kali panen dalam setahun, maka setelah revolusi itu pun diterapkan, panen padi bisa berlangsung dua hingga tiga kali dalam setahun.
Puncaknya adalah ketika pada 1984 Indonesia dinyatakan mampu mandiri dalam memenuhi kebutuhan beras atau mencapai swasembada pangan. Organisasi Pangan Dunia (FAO) pun mengundang Soeharto untuk menerima penghargaan atas prestasinya.
Ini adalah salah satu prestasi besar yang pernah diterima Soeharto di kancah internasional. Sebagai wujud rasa syukurnya, Soeharto pun juga membawa buah tangan, yaitu gabah sebanyak 100.000 ton yang dikumpulkan secara gotong royong dan sukarela oleh petani Indonesia untuk diteruskan kepada warga-warga yang mengalami kelaparan di berbagai belahan dunia, khususnya di Afrika.
“Bantuan antar petani ini merupakan sejarah yang pertama kali terjadi di dunia, sekaligus merupakan indikasi, keberhasilan pertanian saat itu di Indonesia,” demikian tertera pada halaman Soeharto Center.
Prestasi itu membalik kenyataan, dari negara agraria yang mengimpor beras, kini Indonesia mampu mencukupi kebutuhan pangan di dalam negeri. Pada tahun 1969 Indonesia memproduksi beras sekitar 12,2 juta ton, beras tetapi tahun 1984 bisa mencapai 25,8 juta ton.
Bagaimana Soeharto bisa menggalang para petani untuk bekerjasama melakukan revolusi pangan? Untuk meningkatkan produksi pangan dengan memperluas lahan garapan adalah sangat sulit karena memerlukan dana yang besar, disamping keterbatasan lahan di sejumlah lumbung padi seperti jawa, Bali dan Sumatra.
Kebijakan yang ditempuh kemudian adalah menitikberatkan kepada usaha intensifikasi, dengan menaikkan produksi terutama produktivitas padi pada areal yang telah ada.
Pada waktu itu rata-rata petani hanya memiliki setengah hektare dan kemampuan penguasaan teknologi tanam juga belum banyak dikuasai kecuali bercocok tanam secara tradisional. Pemerintah pun mencetak sejumlah tenaga penyuluh pertanian, membentuk unit-unit koperasi untuk menjual bibit tanaman unggul, menyediakan pupuk kimia dan juga insektisida untuk membasmi hama.
Sistem pengairan diperbaiki dengan membuat irigasi ke sawah-sawah sehingga banyak sawah yang semula hanya mengandalkan air hujan, kini bisa ditanami pada musim kemarau dengan memanfaatkan sistem pengairan.
Lahan-lahan percontohan pun dibangun, kelompok petani dibentuk di setiap desa untuk mengikuti bimbingan dari para penyuluh pertanian yang disebut Intensifikasi massal (Inmas) dan Bimbingan massal (Bimas).
Bukan hanya lewat tatap muka, tetapi juga disiarkan melalui radio dan televisi bahkan juga sejumlah media cetak menyediakan halaman khusus untuk koran masuk desa dengan muatan materi siaran yang khas pedesaan, membimbing petani.
Keberhasilan ini telah membuat Edouard Saouma, Direktur Jenderal FAO, mengundang Presiden Soeharto untuk bicara pada forum dunia, pada tanggal 14 November 1985.
Organisasi pangan dan pertanian PBB itu, meminta Soeharto untuk berbicara tentang pengalaman Indonesia dalam upaya menaikan tingkat produktivitas dengan mencapai tingkat berswasembada pangan tersebut.
Soeharto menyatakan, bahwa negara-ngara maju mempunyai tanggungjawab dan kemampuan untuk memberi kesempatan kepada negara-ngara yang sedang membangun untuk ikut maju dan sejahtera dalam menggalakkan pembangunan ekonomi dunia yang lebih adil dan merata.
“Dari pada kemampuan dan modal besar yang tersedia digunakan untuk adu kekuatan senjata yang menjurus kepada kesengsaraan dan penderitaan manusia, lebih baik dipergunakan untuk memenuhi tanggungjawab (kemanusiaan) itu, sehingga terwujud suatu tatanan hubungan dan kerjasama internasional yang mendatangkan keadilan sosial yang merata di seluruh dunia. Itulah yang menjadi idam-idaman semua umat di dunia,” ujar Soeharto waktu itu.
Pada Juli 1986, Eddouard Saouma menyebut Soeharto sebagai lambang perkembangan pertanian Internasional. Ia tiba di Jakarta untuk menyerahkan penghargaan berupa medali emas FAO.
Medali yang terdiri dari dua jenis, yakni yang berukuran kecil dan satunya lebih besar, berukiran timbul bergambar Soeharto dengan tulisan “President Soeharto Indonesia” dan sisi lain bergambar seorang petani yang sedang menanam padi, bertuliskan “From Rice Importer to Self-Sufficiency”.
Penghargaan FAO
Saat Mencapai Swasembada Pangan
Gabah sebanyak 100.000 ton yang dikumpulkan secara gotongroyong dan sukarela oleh petani Indonesia, diserahkan kepada FAO (Food and Agriculture Organitazion) lewat HM Soeharto yang saat itu menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia. Gabah itu kemudian diteruskan kepada warga-warga yang mengalami kelaparan di berbagai belahan dunia, khususnya di Afrika.
Bantuan antar petani ini merupakan sejarah yang pertama kali terjadi di dunia, sekaligus merupakan indikasi, keberhasilan pertanian saat itu di Indonesia. Indonesia berhasil berswasembada beras tahun 1984 setelah sekian lama menjadi pengimpor beras terbesar di dunia. Sebagai perbandingan, jika tahun 1969 Indonesia hanya mampu memproduksi beras sekitar 12,2 juta ton, pada tahun 1984 bisa mencapai 25,8 juta ton.
Ketimpangan antara negara-negara maju dan negara berkembang tampak nyata, dengan dihasilkannya lebih dari separuh poduksi pangan dunia oleh negara-ngara maju, padahal kawasan-kawasan negara maju itu hanya berpenghuni sepertiga dari penduduk dunia. Negara-negara maju menghasilkan produksi pangan lebih dari dua setengah kali lipat dari produktivitas pangan negara-negara yang masih sedang membangun.
Keprihatinan yang mendalam, saat negara berkembang masih kekurangan pangan, sementara negara maju malah mengurangi produksi pangannya demi stabilitas harga.
Indonesia di bawah kempimpinan Presiden Soeharto melakukan berbagai upaya lewat keputusan politiknya dengan memusatkan perhatian pada pembangunan pertanian. Hal itu dimanifestasikan dengan penyediaan anggaran pembangunan negara di sektor pertanian dan irigasi.
Mengingat memperluas lahan pertanian memerlukan dana yang cukup besar, dalam pelaksanaanya lebih menitikberatkan kepada cara usaha intensifikasi, yakni dengan menaikkan produksi tertutama produktivitas padi pada areal yang telah ada.
Tantangan itu cukup besar, mengingat sebelumnya, rata-rata kehidupan petani sangat miskin yang juga miskin pengetahuan dan memiliki lahan sempit. Di Indonesia, rata-rata petani hanya memiliki setengah Ha lahan sebagai tumpuan usaha taninya. Mereka juga tak mampu membeli pupuk, bibit unggul, obat-obatan hama dan cara tradisional yang digunakan, sehingga sulit untuk menaikkan produksi pangan mereka.
Instruksi kepada para petani, tak cukup hanya anjuran dan uraian. Petani takkan puas jika tidak ditunjukkan bukti. Karena itu, lahan-lahan percontohan pun dibangun, seiring dengan dikerahkannya tenaga-tenaga penyuluhan dan bimbingan yang disebut Intensifiaksi massal (Inmas) dan Bimbingan massal (Bimas). Upaya itu bukan tidak punya hambatan. Dengan segala daya dan keinginan bersama untuk menaikkan prouksi pertanian itu, berbagai koreksi pun dilakukan.
Tahun 1984, merupakan puncak produktivitas pangan Inonesia. Yang semula tak kurang dari 2 juta ton pertahun, beras diimpor untuk memenuhi kebutuhan pangan, maka tahun 1984 telah bisa memenuhi kebutuhan sekitar 160 juta penduduk (saat itu) dan bahkan secara gotong royong petani Indonesia mengumpulkan gabah secara sukarela sebesar 100.000 ton untuk disumbangkan kepada petani dunia lain yang kekurangan pangan.
Keberhasilan ini telah membuat FAO yang saat itu Mr. Edouard Saouma sebagai Direktur Jenderalnya, mengundang Presiden Soeharto untuk bicara pada forum dunia, tepatnya tanggal 14 November 1985.
Dalam ulang tahunnya yang ke-40, organisasi pangan dan pertanian PBB itu, mempersilakan Soeharto untuk berbicara tentang pengalaman sehingga pada hal-hal teknis pelaksanaan dalam upaya menaikan tingkat produktivitas dengan mencapai tingkat berswasembada pangan tersebut. Berbicara lebih dari setengah jam, Soeharto menyatakan, bahwa negara-ngara maju mempunyai tanggungjawab dan kemampuan untuk memberi kesempatan kepada negara-ngara yang sedang membangun untuk ikut maju dan sejahtera dalam mnggalakkan pembangunan ekonomi dunia yang lebih adil dan merata.
“Dari pada kemampuan dan modal besar yang tersedia digunakan untuk adu kekuatan senjata yang menjurus kepada kesengsaraan dan penderitaan manusia, lebih baik dipergunakan untuk memenuhi tanggungjawab (kemanusiaan) itu, sehingga terwujud suatu tatanan hubungan dan kerjasama internasional yang mendatangkan keadilan sosial yang merata di seluruh dunia. Itulah yang menjadi idam-idaman semua umat di dunia.”
Presiden Soeharto menjelaskan pula pada forum tersebut, bahwa bangsa Indonesia ingin membangun manusia Indonesia yang utuh, yakni terpenuhinya kebutuhan jasmani dan rohani seperti budaya yang telah diwariskan oleh generasi sebelumnya yang merupakan pandangan hidup sebagai bangsa.
Bulan Juli 1986, Direktur Jenderal FAO, Eddouard Saouma menyebut Soeharto sebagai lambang perkembangan pertanian Internasional, tiba di Jakarta untuk menyerahkan penghargaan berupa medali emas FAO. Medali yang terdiri dari dua jenis, yakni yang berukuran kecil dan satunya lebih besar, berukiran timbul bergambar Soeharto dengan tulisan”President Soeharto Indonesia” dan sisi lain bergambar seorang petani yang sedang menanam padi, bertuliskan “From Rice Imoprter to Self-Sufficiency”.
Pada tahap pertama, medali itu dicetak dalam jumlah cukup banyak yang terbuat dari emas, perak dan perunggu. Pencetakan berikutnya untuk dijual yang hasilnya akan dipergunakan untuk membantu negara-negara yang sedang kelaparan, selain juga untuk aktivitas FAO dan negara-negara yang membutuhkan bantuan FAO.

Menakar Kejahatan dan Kebaikan Soeharto
Tidak ada manusia yang sempurna. Pasti ada kebaikan dan kejahatannya. Begitu pula Presiden Soeharto, pasti banyak kebaikannya selama berkuasa, dan tentu banyak pula kejahatannya. Untuk memastikan Presiden Soeharto itu orang jahat atau orang baik, tidak bisa hanya melihat dan membincangkan salah satu sisi dari dirinya. Mesti meneliti keseluruhan dari kiprahnya selama memimpin bangsa Indonesia 32 tahun lamanya.
Dalam bidang politik kekuasaan, sebagai seorang aktivis mahasiswa 77/78 yang pernah ditahan sembilan bulan tanpa diadili, setelah keluar dari tahanan mendapat perlakuan tidak adil karena dicekal di mana-mana, dimata-matai, dan sulit mendapat pekerjaan, sehingga mengalami kepahitan dan kesulitan hidup.
Begitu pula teman-teman aktivis mahasiswa 1974 dan tokoh pergerakan yang ditahan dan dipenjara seperti Dr Syahrir, Dr Adnan Buyung Nasution, Hariman Siregar, Judil Herry Justam. Juga para aktivis dan pimpinan dewan mahasiswa/senat mahasiswa 1978, tokoh-kampus dan tokoh masyarakat yang ditahan seperti Soekotjo Soeparto, Dr Rizal Ramli, AM Fatwa, Dr Arief Rachman, Lopez Da Lopez, Ibrahim Zakir, Musfihin Dahlan, Umar Marasabessy, Evert Matulessy , dan lain-lain, serta para tokoh masyarakat yang ditahan dan dimasukkan ke penjara seperti Ir Sanusi, Prof Ismail Suny, HR Soedarsono, dan banyak lagi yang tidak dapat disebutkan satu per satu. Semuanya atau sebagian pasti menyimpulkan bahwa Soeharto jahat dan pantas diberi hukuman yang setimpal.
Di bidang politik ekonomi, kebijakannya yang memberi angin dan perlindungan kepada pengusaha Cina dengan menempatkan mereka sebagai ''agent of growth" dalam pembangunan ekonomi, amat menyakitkan karena mengakibatkan terjadinya konglomerasi dan penguasaan ekonomi oleh segelintir orang. Padahal mereka atau orangtua mereka adalah mitra penjajah dan mendapat tempat terhormat sebagai "Timur Asing" di masa penjajahan. Sementara pribumi sebagai inlander yang dijajah, diperangi, disiksa, dibunuh, dan yang hidup dibiarkan bodoh, miskin dan terkebelakang, seharusnya mendapat ''affirmative action" dalam pembangunan ekonomi seperti di Malaysia, untuk memajukan mereka di bidang ekonomi dan pendidikan. Akan tetapi hal itu tidak dilakukan Presiden Soeharto. Kebijakan ekonomi yang merugikan sebagian besar warga bangsa ini, sebenarnya dapat dikategorikan sebagai kejahatan ekonomi, dan selayaknya tidak dilanjutkan dengan mengamalkan persaingan bebas (free fight competition) kepada pengusaha pribumi yang kecil menengah dan koperasi seperti sekarang ini.
Di bidang politik hukum, korupsi kolusi dan nepotisme (KKN) yang dipraktikkan di era Presiden Soeharto berkuasa, kemudian dijadikan isu sentral oleh gerakan reformasi yang disponsori oleh kekuatan global untuk menggusur Presiden Soeharto, harus diselesaikan dengan sebaik-baiknya dan secepat-cepatnya. Bukan saja menyelesaikan tuduhan itu dengan cepat dan adil, tetapi tidak boleh melanjutkan praktik korupsi di era Orde Reformasi. Namun amat menyedihkan, kejahatan korupsi yang dituduhkan kepada Presiden Soeharto diambangkan dan ditutup-tutupi, dan bahkan korupsi semakin semarak dilaksanakan di era Orde Reformasi. Sampai ada yang menggambarkan dahsyatnya dan beraninya pelaku korupsi sekarang dengan mengatakan: ''Kalau di era Orde Lama korupsi malu-malu, di era Orde Baru korupsi di bawah meja, di era Orde Reformasi korupsi di atas meja dan bahkan mejanya dikorupsi''. Kejahatan korupsi yang dituduhkan kepada Presiden Soeharto, kini telah menjadi isu internasional yang amat mencemarkan nama baik Soeharto, keluarganya serta bangsa Indonesia karena mantan Presiden Indonesia itu dituduh sebagai koruptor nomor wahid di dunia.

Kebaikan dan jasa Soeharto
Prof. Emil Salim dalam "Soeharto Media Center Pusat Kajian dan Informasi" menegaskan bahwa Soeharto pernah berjasa menyelamatkan bangsa ini dari kehancuran.
Pertama, bidang ekonomi. Laju inflasi menjelang peristiwa G-30-S/PKI bisa dibilang edan karena berada di kisaran 650 persen. Indeks biaya hidup tahun 1960 sampai tahun 1966, naik 438 kali! Harga beras naik 824 kali! Harga tekstil naik 717 kali! Sementara harga-harga itu mengganas, nilai rupiah sekarat dari Rp 160 saja menjadi Rp 120 ribu. Melalui program rehabilitasi dan stabilisasi ekonomi yang cukup progresif dan komprehensif berhasil dilakukan, pertama, pengendalian inflasi melalui kebijakan anggaran berimbang, dan kebijakan moneter ketat. Kedua, pencukupan kebutuhan pangan. Ketiga, pencukupan kebutuhan sandang. Keempat, rehabilitasi berbagai sarana dan prasarana ekonomi. Kelima, peningkatan ekspor dengan mengembalikan share sepenuhnya pada eksportir. Hasilnya, laju inflasi bisa dijinakkan dari kisaran 650 persen (1966) melunak menjadi 100 persen (1967), turun lagi menjadi 50 persen (1968), dan bahkan terkendali di bilangan 13 persen (1969).
Kedua, bidang politik. Presiden Soeharto berjasa menumpas PKI dan mewujudkan stabilitas keamanan dan politik dalam kurun waktu yang panjang. Emil Salim mengakui bahwa di era 60-70an Pak Harto begitu piawai memadukan komponen bangsa, sampai-sampai republik ini bisa selamat dari liang kubur di pertengahan tahun 60-an. Frans Seda menilai bahwa pada awal-awalnya, pemerintahan Orde Baru yang dipimpin Presiden Soeharto bisa dikatakan sebagai pemerintahan demokratis, terbuka, transparan, dan komunikatif. Selanjutnya Frans Seda berpendapat, ''Memang setelah anak-anaknya (Soeharto) gede, kebijakan ekonomi jadi bias. Setelah merasa memperoleh personalized power, Pak Harto memborong semua sejarah. Seolah-olah, keberhasilan pemerintahan Orde Baru adalah berkat strateginya sendiri.''
Ketiga, bidang sosial. Presiden Soeharto berjasa pula dalam pemberian bantuan sosial. Dia mendirikan puluhan yayasan, mengumpulkan dana dan mengalokasikan kepada kegiatan sosial. Yayasan-yayasan yang didirikan di antaranya, Yayasan Trikora untuk membantu beasiswa bagi anak-anak yatim yang orang tuanya gugur dalam perang merebut Irian Barat, Yayasan Dwikora untuk memberikan bantuan beasiswa kepada anak-anak yatim korban konfrontasi dengan Malaysia, Yayasan Seroja untuk memberikan beasiswa kepada anak-anak yatim yang orang tuanya gugur dalam perang di Timor Timur, Yayasan Supersemar untuk memberikan beasiswa kepada anak-anak cerdas yang orang tuanya tidak mampu untuk mengikuti pendidikan S1, S2 dan S3 di berbagai universitas. Selain itu, Presiden Soeharto mendirikan pula Yayasan Harapan Kita yang kemudian mendirikan Rumah Sakit Jantung Harapan Kita, Yayasan Amal Bakti Muslim Pancasila untuk membantu pembangunan masjid, dan banyak lagi yayasan yang didirikan Presiden Soeharto. Berbagai yayasan yang didirikan itu jelas untuk kepentingan sosial, maka sangat tidak masuk akal dan bersifat politis kalau pendirian puluhan yayasan itu dituduhkan untuk memperkaya diri sendiri dan kemudian dijadikan sebagai entry point untuk menjeratnya melakukan perbuatan korupsi.
Keempat, berjasa menyelamatkan bangsa ini dari pertumpahan darah. Saadillah Mursyid mengungkapkan pada detik-detik terakhir ketika mendampingi Pak Haro sebagai Presiden Republik Indonesia sebelum menyatakan berhenti dari jabatan sebagai Presiden RI., Pak Harto mengatakan, ''Segala usaha untuk menyelamatkan bangsa dan negara telah kita lakukan. Tetapi Tuhan rupanya berkehendak lain. Saya tidak mau terjadi pertumpahan darah.'' Padahal kalau Pak Harto mau melakukan tindakan tegas dan keras terhadap para demonstran seperti rezim militer di Miyanmar, kekuasaannya bisa terselamatkan karena TNI semuanya tetap loyal dan mendukung kepemimpinan beliau. Begitu pula Golkar sebagai partai pendukung pemerintah dan single majority di parlemen, masih kukuh mendukungnya. Akan tetapi, Pak Harto tidak mau menggunakan kekuasaannya untuk bertahan dengan menumpas para mahasiswa sebagai generasi penerus bangsa.

Belajar dari kegagalan dan kesuksesan
Bangsa yang besar ialah bangsa yang dapat belajar dari sejarah, agar tidak mengulangi kesalahan serupa. Bangsa Indonesia bisa belajar banyak dari kegagalan dan kesuksesan Presiden Soeharto selama memimpin bangsa Indonesia. Pertama, kegagalan dalam membangun pemerintahan yang baik (good governance) dan pemerintah yang bersih (good government). Kegagalan itu tidak boleh dilanjutkan. Akan tetapi, amat menyedihkan justru hal itu diamalkan dan bahkan dikembang-biakkan, sehingga korupsi semakin merajalela di era Orde reformasi. Kedua, kegagalan dalam membangun ekonomi yang berpihak kepada rakyat banyak. Kegagalan ini seharusnya menjadi pelajaran, tetapi anehnya sistem ekonomi yang sudah gagal menyejahterakan seluruh rakyat, masih diteruskan bahkan semakin diliberalkan. Ketiga, kegagalan dalam penegakan hukum. Pemerintah Presiden Soeharto lemah dalam penegakan hukum, seharusnya menjadi pelajaran, tetapi hal itu tidak juga dijadikan pelajaran oleh para pemimpin bangsa ini di era Orde Reformasi. Adapun kesuksesan Presiden Soeharto yang sangat penting dan patut ditiru dan dikembangkan di antaranya ialah kemampuan mewujudkan swasembada pangan, stabilitas harga sembilan bahan pokok, kesehatan masyarakat, stabilitas sosial, politik dan pertahanan keamanan. Berbagai kesuksesan itu tidak diteruskan dan dikembangkan, karena pada awal Orde Reformasi muncul stigma buruk terhadap Orde Baru yang dipimpin Presiden Soeharto.
Pada saat Presiden Soeharto sakit dan banyak dikunjungi para pejabat dan mantan pejabat, dan diliput media nasional dan internasional, kita kembali sadar dan membuka mata ternyata masih banyak yang menghormati belaiu. Itu semua karena kebaikannya lebih banyak dibanding kejahatannya di masa berkuasa.

Ditulis Oleh : Mochamad Saeffulloh // Selasa, November 01, 2011
Kategori: