Tentunya tak asing bagi kita ketika mendengar kata “Valentine” Maka kesan yang timbul adalah hari kasih sayang yang seringkali di gembar-gemborkan lewat berbagai media, baik itu media massa, maupun media elektronik. Bahkan Hari yang ternyata dulunya ini merupakan hari untuk menghormati juno (ratunya dewa-dewi Romawi) ini sepertinya sudah menjadi sebuah tradisi yang mengakar terutama bagi masyarakat kita.
Lihat saja, ketika tanggal 14 Februari tiba, maka mall-mall atau tempat-tempat rekreasi lainnya tiba-tiba disulap menjadi tempat serba bernuansa pink, tentu lengkap dengan pernak-pernik berlambangkan ‘heart’ sebagai tanda kasih sayang. Tak jarang pula pada hari itu diadakan berbagai even yang juga berkaitan dengan momen valentine. Lomba bikin puisi bertema cinta-lah, Lomba bikin kue berbentuk heart-lah, atau bahkan lomba pasangan terserasi. Semakin semaraklah nuansa ‘kasih sayang ’ pada hari valentine itu.
Lantas, bagaimana sebenarnya bentuk kasih sayang yang dipentaskan orang-orang pada hari valentine ini? Kasih sayang dalam sebungkus Coklat Kebiasaan yang juga sudah dianggap sebagai sebuah tradisi, dan tak pernah ketinggalan pada momen hari kasih sayang itu, adalah saling memberi coklat pada orang-orang yang dianggap spesial. Tak heran bila hari valentine tiba, pasokan coklat akan lebih meningkat. Entah dari mana awalnya, dan siapa yang memulai, namun fenomena ini seakan sudah menjadi keharusan pada hari valentine itu. Jika diumpamakan dengan hari raya idul fitri, mungkin si coklat ini seumpama ketupat yang merupakan makanan khas ummat islam pada hari raya idul fitri. Seakan sebungkus coklat ini mengandung sebuah makna yang menjadi perantara untuk mengungkapkan rasa kasih dan sayang pada orang yang dituju. Dari satu sisi, hal ini memang tidak bermasalah, bahkan mungkin bagi beberapa pihak malah bias menguntungkan. Bagiprodusen, tentunya keuntungan besar yang didapat jika ternyata produksi coklatnya laku. Bagi seseorang yang ingin menjalin hubungan yang lebih erat dengan yang lain, hal ini juga bisa menjadi alternatif. Namun apakah pernah terlintas dalam benak kita, sebenarnya dari mana asal mula kebiasaan ini, siapa yang pertama kali melakukannya. Dan yang disayangkan dari fenomena ini adalah, sebungkus coklathanya dijadikan sebagai bentuk nilai kasih saying secara formalitas saja. Seakan ketika tak ada coklat, maka tak ada kasih sayang. Dan setelah memberi coklat, habislah perkara saling menyayangi yang seharusnya tetap tertanam dalam hati setiap insan. Kalau begitu, kasih sayang kita terhadap sesame manusia hanya bertaruh pada sebungkus coklat saja. Mungkin ini akan terdengar cukup dibesar-besarkan, primitif, atau apalah.
Namun, fenomena semacam ini ternyata memang cukup menggelitik dalam tradisi di tengah masyarakat kita, yang sudah menjadi plagiator, atau bahkan bisa dibilang korban dari budaya yang kebarat- baratan itu. Padahal, kalau memang bermaksud mencurahkan rasa kasih sayang, kenapa tidak bersodaqoh saja sebanyak- banyaknya pada orang-orang yang tidak mampu. Peminta-minta di lampu merah masih banyak, anak-anak panti asuhan pun masih sangat memerlukan uluran tangan kita. Yang lebih khas lagi dari hari valentine ini, adalah mencurahkan bentuk kasihsayang kepada lawan jenis.Dan memang atmosfer seperti itulah yang terasa saat hari itu tiba.
Lagi-lagi, entah darimana dan siapa yang memulainya, namun hal ini sudah sangat mengakar pada masyarakat kita dewasa ini. Kini orang-orang gemar menyelenggarakan acara-acara khusus untuk para pasangan pada hari itu. Entah itu berbentuk kompetisi, atau semacam voucher gratis yang bisa ditukar dengan barang lain atau makanan jika di restoran-restoran. Tak jarang di mall-mall besar seringkali diadakan kompetisi pasangan terserasi, atau perlombaan yang berhadiah dating di tempat-tempat wisata, dan lain sebagainya. Bentuk masyarakat yang seperti itu sudah menjadi keuntungan tersendiri bagi para kaum kapitalis dengan even-even yang diselenggarakannya. Sisi lain dari pelaku even-even itu adalah pasangan-pasangan yang berpartisipasi didalamnya. Dengan menjual nama valentine, hari kasih sayang, seakan-akan seorang laki-laki memiliki kesempatan besar dalam mewujudkan slogan dari hari itu. Namun yang disayangkan, atas nama hari kasih sayang ini, seringkali terjadi perlakuan yang tidak mengenakan antar sesama pasangan. Hari kasih sayang ini dijadikan ajang saling tembak-menembak, dating, dan yang lebih memprihatinkan tidak sedikit pasangan yang melakukan hal tidak senonoh pada hari ‘kasih sayang ’ itu. Na’udzubillah. Maka, patut kembali kita bertanya,apakah fenomena seperti ini yang dinamakan hari kasih sayang? Inikah bentuk kasih sayang sesungguhnya yang masyarakat kita meksudkan? Jika benar, maka sangat ironis sekali.
Kultur masyarakat kitasudah tercampur aduk dengan semakin gencarnya budaya luar yang terus menggerogoti moral bangsa kita. Kendati demikian, berarti hari kasih sayang pada hari valentine itu memiliki makna yang sempit akan arti sebuah kasih sayang yang sesungguhnya. Jika bentuknya hanya berupa perlakuan saling menyayangi antar lawan jenis yang memiliki hubungan khusus, lalu saling memeberi coklat hanya pada orang-orang yang dianggap spesial saja, tentu ini merupakan implementasi kasih sayang yang sangat dangkal. Betapa seharusnya kasih dan sayang ini selalu berusaha kita curahkan pada sesama manusia, terutama bagi mereka yang kurang mampu baik secara moril maupun materi. Merekalah yang lebih membutuhkan bentuk uluran kasih sayang itu. Di sanalah sikap saling mengasihi dan menyayangi akan lebih terlihat bermakna, indah, tulus, dan tak terbandingkan. Lantas, kapankah fenomena ini akan terwujud? Jawablah dengan hati dan pikiran yang jernih, agar kita bisa melihat, betapa bentuk kasih sayang yang terlihat pada hari valentinedewasa ini adalah semu, dan amat disayangkan.